Friday, 16 December 2016

PENDIDIKAN KARAKTER BUKAN HANYA TANGGUNG JAWAB GURU

Kabar nunukan.co, 3 Juli 2016
Oleh :   Angga Passakanawang



Berbagai kasus negatif yang melibatkan pelajar seperti tidak ada habisnya. Derasnya arus informasi yang terus merongrong kebudayaan bangsa seperti tak terbendung. Hanya melalui drama saja, pengaruh budaya luar sudah bercokol di generasi muda kita. Penjajahan budaya ini bukanlah hal baru, karena di era 90-an pun budaya India melalui film-filmnya juga berhasil menguatkan pengaruhnya kepada generasi saat itu. Hal ini memberi kesan bahwa kita adalah bangsa yang kehilangan karakter dasarnya.
Berangkat dari hal tersebut, pemerintah mencanangkan pendidikan karakter untuk menguatkan pondasi jati diri bangsa. Ada 18 nilai-nilai karakter yang ingin dikembangkan menurut Puskur Depdiknas 2010, yaitu : Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, Kerjakeras, Kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa Ingin Tahu, Semangat Kebangsaan, Cinta Tanah Air, Menghargai Prestasi, Bersahabat/Komunikatif, Cinta Damai, Gemar Membaca, Peduli Lingkungan, Peduli Sosial, dan Tanggung Jawab; namun, tentu saja program ini bukanlah ilmu sihir yang serta merta mengembalikan karakter bangsa yang memudar.
Implementasi dari pendidikan karakter haruslah dibarengi dengan usaha yang masif, dimana sumber daya manusia sebagai penggerak pendidikan perlu disiapkan lebih dahulu. Mempersiapkan SDM guru dalam mengembangkan pendidikan karakter bukanlah hanya berpijak pada kuantitas tapi juga harus memperhatikan kualitas. Pendekatan kuantitas yang hanya menutupi kekurangan jumlah tidak akan efektif tanpa di barengi dengan peningkatan kompetensi. Tapi, tidak mungkin juga persoalan kualitas ini bisa dipecahkan apabila tidak ada data yang akurat tentang kualitas itu sendiri. Penyimpangan data akan mengakibatkan penyimpangan dalam kebijakan. Sangat diperlukan sebuah pemetaan kemampuan guru dalam melaksanakan pendidikan karakter sebelum kita benar-benar melaksanakan pendidikan karakter itu.
Keberhasilan pendidikan karakter juga dipengaruhi oleh jenis informasi yang diserap oleh anak di lingkungannya. Menurut Qurais Shihab, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, memepengaruhi nilai sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Pola pikir materialistis (hanya mementingkan uang) yang berkembang akhir-akhir ini, dikhawatirkan mempengaruhi pola pikir anak terhadap pendidikan bahwa pendidikan hanyalah semata-mata untuk mencari uang saja. Melenceng dari tujuan pendidikan sesungguhnnya yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Peran orang tua dan tokoh-tokoh masyarakat tentunya tidak semata-mata memberi nasehat saja. Namun juga sebagai teladan dengan pendekatan keagamaan maupun etika-etika budaya.  
Internet  sebagai salah satu sumber belajar juga bagai pisau bermata dua yang memberi efek positif jika di gunakan sebagaimana mestinya tetapi juga bisa berefek negatif jika digunakan sebaliknya. Dari internetlah berkembang trend negatif yang diikuti oleh remaja. Kita patut mengapresiasi usaha-usaha Kementerian Komunikasi dan Informatika, dalam memblokir situs-situs negatif. Walaupun masih ada saja situs yang lolos dari pemblokiran. Setidaknya usaha tersebut meringankan tugas orang tua dan guru mendampingi anak berselancar di dunia maya. Menutup akses anak terhadap internet pun bukanlah tindakan bijak mengingat tuntutan untuk mengikuti perkembangan teknologi dan informasi. Anak yang tertutup aksesnya kedunia informasi akan gagap teknologi alias gaptek. Mereka akan tereliminasi di masa yang akan datang.
Faktor lain yang tidak kalah pentingnya adalah dukungan dari pemangku jabatan di dunia pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang mendukung terealisasinya pendidikan karakter secara menyeluruh sangat di harapkan untuk menggerakkan birokrasi dan stakeholder di sekolah-sekolah. Menciptakan iklim birokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai karakter bangsa. Perbaikan gedung-gedung sekolah yang roboh, pembangunan sekolah-sekolah baru, dan berbagai renovasi-renovasi fisik di bidang pendidikan , tidaklah dipandang sebagai sebuah komoditas tetapi hendaknya juga mengacu pada pembangunan manusia.
Semoga dengan implementasi pendidikan karakter di sekolah-sekolah yang didukung oleh masyarakat dan pemangku kepentingan, kita dapat mengembalikan jati diri bangsa yang dilandasi oleh patriotisme dan rasa cinta tanah air.

0 comments:

Post a Comment