Friday 16 December 2016

KERASNYA TANTANGAN PENDIDIKAN DI PERBATASAN INDONESIA-MALAYSIA

Oleh : Angga Passakanawang

Indonesia adalah negara besar  dengan Jumlah pulau sebanyak 13.487 terdiri dari pulau besar dan kecil. Beberapa Pulau-pulau kecil yang sebagian berpenghuni dan sebagian lagi tidak berpenghuni ini, ada yang berbatasan langsung dengan negara tetangga. Salah satunya adalah Pulau Sebatik. Pulau yang terletak di wilayah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara ini, terbagi menjadi dua bagian yaitu Sebatik Malaysia dan Sebatik Indonesia. Dari Pulau Nunukan, diperlukan perjalanan sekitar 20 menit menuju Pulau Sebatik dengan menggunakan perahu kayu. Kontrasnya pembangunan dua negara terlihat jelas di pulau ini. Gedung-gedung kota Tawau terlihat sangat berbeda dengan kondisi bangunan kota Kecamatan Sebatik. Apalagi pada malam hari, dari Pulau Sebatik terlihat kerlap-kerlip lampu Kota Tawau, sementara di Sebatik sendiri hanya lampu temaram. Keterbatasan dalam berbagai aspek sudah menjadi rahasia umum untuk wilayah perbatasan ini, akibat pola pembangunan yang sentralistik di masa lalu.  
Pendidikan di perbatasan sebatik belum bisa dikatakan memadai. Persoalan pendidikan ini sangat penting mengingat pendidikan itu sendiri merupakan ujung tombak peradaban bangsa. Sedemikian pentingnya pendidikan, hinggga diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, tidak terkecuali di wilayah perbatasan maupun warga negara Indonesia yang ada di luar negeri.
Tantangan pendidikan di perbatasan Indonesia-Malaysia menjadi lebih kompleks akibat Malaysia adalah salah satu negara tujuan utama Tenaga kerja Indonesia (TKI) baik legal maupun Ilegal, para TKI tersebar di kamp-kamp perkebunan atau tinggal dirumah-rumah majikan. Tidak sedikit dari mereka yang telah berkeluarga dan memiliki anak usia sekolah. Anak-anak pekerja Indonesia ini tidak di terima di sekolah-sekolah kerajaan di Malaysia, sehingga pendidikan mereka bergantung pada sekolah Indonesia yang di siapkan oleh pihak kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) maupun beberapa LSM. Kebanyakan Sekolah anak TKI di perkebunan kelapa sawit itu setara dengan pendidikan non-formal atau Pusat kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) di Indonesia.
Cerita berbeda  untuk anak-anak TKI illegal, akses sekolah yang sangat terbatas akibat permasalahan izin tinggal,memaksa mereka mengirim anak-anak mereka ke wilayah – wilayah perbatasan atau kampung halaman untuk bersekolah. Beberapa anak TKI dikirim ke Pulau Sebatik dan Nunukan untuk mengenyam pendidikan formal. Sebagian dari mereka harus menyewa kontrakan atau tinggal dirumah keluarga. Walaupun di Nunukan dan Sebatik sudah dibangun asrama anak TKI, namun belum bisa mengatasi masalah yang ada karena asrama tersebut bertempat di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sementara banyak anak TKI yang ingin bersekolah di SMA, SMP dan SD. Kemudian,  daya tampung asrama anak TKI hanya untuk 300 orang, sedang yang terdata oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan tahun 2014-2015 ada ribuan anak TKI yang bersekolah di Pulau Sebatik dan Nunukan. Tidak salah jika angka buta aksara tertinggi di Kabupaten Nunukan adalah di Pulau Sebatik yang di dominasi oleh anak TKI.
Selain permasalahan anak TKI, sekolah-sekolah perbatasan seperti halnya sekolah lain di pelosok Indonesia tidak luput dari kekurangan bahan bacaan, sehingga menjadi tantangan yang berat untuk memasyarakatkan budaya baca buku. Literatur-literatur yang memperkenalkan budaya Indonesia sangat diperlukan di wilayah perbatasan, mengingat pengaruh yang besar dari budaya Malaysia. Contoh pengaruh budaya Malaysia di sekolah-sekolah perbatasan Sebatik adalah populernya tari semajau dikalangan pelajar, padahal tari semajau itu sendiri adalah tarian asal Sabah Malaysia. Contoh lain adalah adanya lambang-lambang pramuka negara tetangga yang dijual di pasar-pasar rakyat, bahkan ada yang sampai digunakan oleh para pelajar. Bukan hanya itu, perlengkapan tulis menulis berbendera Malaysia pun banyak beredar dan di gunakan oleh para pelajar.
Tidak cukup ancaman Nasionalisme yang terus dirongrong, para pelajar Sebatik juga rentan terhadap pengaruh obat terlarang, karena Sebatik adalah daerah yang berbatasan darat dengan negara tetangga, sehingga menjadi jalur utama sindikat narkoba internasional. Data dari Kepolisian menunjukkan, sampai Oktober 2015 tahun lalu saja, sebanyak 65 kasus narkoba ditangani oleh polres nunukan dan terus meningkat setiap bulannya. Sungguh. Angka yang terbilang tinggi untuk kota kabupaten. Yang lebih memperihatinkan, para sindikat ini tidak segan menggunakan jasa anak usia sekolah sebagai kurir.
Di sisi lain, terbentuknya provinsi Kalimantan Utara menyebabkan penurunan anggaran pendidikan sejak tahun 2015 dari Rp 300 milyar menjadi Rp 240 millyar. Sehingga berdampak pada pengurangan kegiatan bimtek dan pelatihan untuk meningkatkan kompetensi guru. Di susul pengurangan pembangunan sarana dan prasarana di berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Sungguh ironis tentunya, mengingat derasnya tantangan dalam bidang pendidikan justru dibarengi oleh pengurangan anggaran.
Menurut penulis, untuk mengmenghadapi tantangan-tantangan tersebut di perlukan berbagai langkah yang signifikan oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia diantaranya : Pertama, menyediakan pendidikan yang layak bagi anak TKI yang bekerja di Malaysia terutama TKI ilegal, karena orang tua mereka tidak sanggup membiayai pendidikan yang tinggi dengan gaji di bawah standar. Kedua, membangun pusat-pusat membaca di Pulau Sebatik dengan literatur-literatur budaya dan wawasan kebangsaan Indonesia agar terbangun jiwa nasionalisme yang kuat. Ketiga, sosialisasi lebih aktif tentang bahaya narkoba di kalangan pelajar dari tingkat dasar baik dengan pendekatan keagamaan, dengan pendekatan kesehatan dan pendekatan hukum. Keempat, meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidik dan tenaga kependidikan Dalam upaya membentuk karakter kuat bagi pelajar di daerah perbatasan.

0 comments:

Post a Comment