Oleh : Angga Passakanawang
Indonesia adalah
negara besar dengan Jumlah pulau sebanyak
13.487 terdiri dari pulau besar dan kecil. Beberapa Pulau-pulau kecil yang
sebagian berpenghuni dan sebagian lagi tidak berpenghuni ini, ada yang
berbatasan langsung dengan negara tetangga. Salah satunya adalah Pulau Sebatik.
Pulau yang terletak di wilayah Kabupaten Nunukan Provinsi Kalimantan Utara ini,
terbagi menjadi dua bagian yaitu Sebatik Malaysia dan Sebatik Indonesia. Dari Pulau
Nunukan, diperlukan perjalanan sekitar 20 menit menuju Pulau Sebatik dengan
menggunakan perahu kayu. Kontrasnya pembangunan dua negara terlihat jelas di
pulau ini. Gedung-gedung kota Tawau terlihat sangat berbeda dengan kondisi
bangunan kota Kecamatan Sebatik. Apalagi pada malam hari, dari Pulau Sebatik terlihat
kerlap-kerlip lampu Kota Tawau, sementara di Sebatik sendiri hanya lampu
temaram. Keterbatasan dalam berbagai aspek sudah menjadi rahasia umum untuk
wilayah perbatasan ini, akibat pola pembangunan yang sentralistik di masa lalu.
Pendidikan di
perbatasan sebatik belum bisa dikatakan memadai. Persoalan pendidikan ini
sangat penting mengingat pendidikan itu sendiri merupakan ujung tombak
peradaban bangsa. Sedemikian pentingnya pendidikan, hinggga diamanatkan dalam
Undang-undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara
wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, tidak
terkecuali di wilayah perbatasan maupun warga negara Indonesia yang ada di luar
negeri.
Tantangan
pendidikan di perbatasan Indonesia-Malaysia menjadi lebih kompleks akibat Malaysia
adalah salah satu negara tujuan utama Tenaga kerja Indonesia (TKI) baik legal
maupun Ilegal, para TKI tersebar di kamp-kamp perkebunan atau tinggal
dirumah-rumah majikan. Tidak sedikit dari mereka yang telah berkeluarga dan
memiliki anak usia sekolah. Anak-anak pekerja Indonesia ini tidak di terima di
sekolah-sekolah kerajaan di Malaysia, sehingga pendidikan mereka bergantung
pada sekolah Indonesia yang di siapkan oleh pihak kedutaan Besar Republik
Indonesia (KBRI) maupun beberapa LSM. Kebanyakan Sekolah anak TKI di perkebunan
kelapa sawit itu setara dengan pendidikan non-formal atau Pusat kegiatan
Belajar Masyarakat (PKBM) di Indonesia.
Cerita
berbeda untuk anak-anak TKI illegal,
akses sekolah yang sangat terbatas akibat permasalahan izin tinggal,memaksa
mereka mengirim anak-anak mereka ke wilayah – wilayah perbatasan atau kampung
halaman untuk bersekolah. Beberapa anak TKI dikirim ke Pulau Sebatik dan Nunukan
untuk mengenyam pendidikan formal. Sebagian dari mereka harus menyewa kontrakan
atau tinggal dirumah keluarga. Walaupun di Nunukan dan Sebatik sudah dibangun
asrama anak TKI, namun belum bisa mengatasi masalah yang ada karena asrama
tersebut bertempat di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sementara banyak anak TKI
yang ingin bersekolah di SMA, SMP dan SD. Kemudian, daya tampung asrama anak TKI hanya untuk 300
orang, sedang yang terdata oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Nunukan tahun 2014-2015
ada ribuan anak TKI yang bersekolah di Pulau Sebatik dan Nunukan. Tidak salah
jika angka buta aksara tertinggi di Kabupaten Nunukan adalah di Pulau Sebatik yang
di dominasi oleh anak TKI.
Selain
permasalahan anak TKI, sekolah-sekolah perbatasan seperti halnya sekolah lain
di pelosok Indonesia tidak luput dari kekurangan bahan bacaan, sehingga menjadi
tantangan yang berat untuk memasyarakatkan budaya baca buku.
Literatur-literatur yang memperkenalkan budaya Indonesia sangat diperlukan di wilayah
perbatasan, mengingat pengaruh yang besar dari budaya Malaysia. Contoh pengaruh
budaya Malaysia di sekolah-sekolah perbatasan Sebatik adalah populernya tari semajau dikalangan pelajar, padahal tari semajau
itu sendiri adalah tarian asal Sabah Malaysia. Contoh lain adalah adanya
lambang-lambang pramuka negara tetangga yang dijual di pasar-pasar rakyat,
bahkan ada yang sampai digunakan oleh para pelajar. Bukan hanya itu,
perlengkapan tulis menulis berbendera Malaysia pun banyak beredar dan di gunakan
oleh para pelajar.
Tidak cukup
ancaman Nasionalisme yang terus dirongrong, para pelajar Sebatik juga rentan
terhadap pengaruh obat terlarang, karena Sebatik adalah daerah yang berbatasan
darat dengan negara tetangga, sehingga menjadi jalur utama sindikat narkoba
internasional. Data dari Kepolisian menunjukkan, sampai Oktober 2015 tahun lalu
saja, sebanyak 65 kasus narkoba ditangani oleh polres nunukan dan terus
meningkat setiap bulannya. Sungguh. Angka yang terbilang tinggi untuk kota
kabupaten. Yang lebih memperihatinkan, para sindikat ini tidak segan
menggunakan jasa anak usia sekolah sebagai kurir.
Di sisi lain,
terbentuknya provinsi Kalimantan Utara menyebabkan penurunan anggaran
pendidikan sejak tahun 2015 dari Rp 300 milyar menjadi Rp 240 millyar. Sehingga
berdampak pada pengurangan kegiatan bimtek dan pelatihan untuk meningkatkan
kompetensi guru. Di susul pengurangan pembangunan sarana dan prasarana di
berbagai lembaga pendidikan baik formal maupun non-formal. Sungguh ironis
tentunya, mengingat derasnya tantangan dalam bidang pendidikan justru dibarengi
oleh pengurangan anggaran.
Menurut penulis, untuk mengmenghadapi
tantangan-tantangan tersebut di perlukan berbagai langkah yang signifikan oleh
seluruh elemen masyarakat Indonesia diantaranya : Pertama, menyediakan
pendidikan yang layak bagi anak TKI yang bekerja di Malaysia terutama TKI
ilegal, karena orang tua mereka tidak sanggup membiayai pendidikan yang tinggi
dengan gaji di bawah standar. Kedua, membangun pusat-pusat membaca di Pulau
Sebatik dengan literatur-literatur budaya dan wawasan kebangsaan Indonesia agar
terbangun jiwa nasionalisme yang kuat. Ketiga, sosialisasi lebih aktif tentang
bahaya narkoba di kalangan pelajar dari tingkat dasar baik dengan pendekatan
keagamaan, dengan pendekatan kesehatan dan pendekatan hukum. Keempat,
meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidik dan tenaga kependidikan Dalam
upaya membentuk karakter kuat bagi pelajar di daerah perbatasan.
0 comments:
Post a Comment