Oleh : Angga Passakanawang
Kisah Karin Novilda, seorang remaja
putri yang mengumbar foto vulgar di sosial media, memamerkan tattoo, bahkan memposting
kata-kata kasar yang tidak pantas, menjadi viral di pertengahan tahun 2016.
followersnya yang di dominasi oleh remaja dan anak-anak membuat ia di hujat
sebagai perusak moral bangsa. Fakta yang mengejutkan bahwa Karin Novilda adalah
peraih nilai ujian nasional (UN) Matematika SMP tertinggi tahun 2013. Kisah ini
adalah refleksi bahwa pola pendidikan saat ini belum mampu menjadi tameng dekandensi
(kemerosotan) moral. Pengaruh agama, kebudayaan, ekonomi, dan bahkan politik
menjadi faktor yang perlu di perhatikan dalam konteks pendidikan. Karena faktor-faktor
tersebut mempengaruhi gaya belajar dan pola pikir terhadap tujuan pendidikan
bagi peserta didik. Tidak jarang kita mendapati peserta didik yang mempelajari
pelajaran hanya sebatas pelajaran wacana untuk menyelesaikan soal ujian, bukan
untuk diaplikasikan dalam dunia nyata. Nilai-nilai mata pelajaran tinggi
menjadi simbol kecerdasan walaupun tidak sejalan dengan kenyataan. Oleh karena
itu, mari kita sepakati bahwa pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang
menyentuh “kesadaran”.
Apa itu kesadaran?
Kesadaran merupakan sesuatu yang
terletak di akal. Oleh sebab itu, kesadaran hanya dimiliki oleh manusia karena
manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal. Kesadaran adalah kemampuan
untuk menyadari, kemampuan untuk mempersepsi sesuatu yang ada. Tiga unsur pendidikan
yang berperan strategis dalam membangun kesadaran adalah pendidik, peserta
didik dan realitas dunia. Suasana peserta didik yang hanya sibuk bergelut
dengan buku teks pelajaran tanpa terlibat pada aktifitas nyata adalah pembelajaran
yang akan melahirkan generasi terasing. Produknya adalah anak petani bersekolah
tapi tidak memahami pertanian, para wanita berpendidikan tinggi malah tidak
bisa memasak ataupun lulusan pendidikan yang menunggu pekerjaan bukan
menciptakan lapangan kerja.
Paolo Freire, ahli pendidikan
yang pernah menjadi menteri pendidikan Brasil membagi kesadaran menjadi
kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness),
dan kesadaran kritis (critical consciousness).
1. Kesadaran
magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara
satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu
melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan.
Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun
supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
2. Kesadaran
naif, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek
manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam menganalisis kenapa
masyarakat miskin, karena disebabkan kesalahan merekaa sendiri: yakni malas,
tidak memiliki jiwa entrepreneur, bodoh dan lain sebagainya.
3. Kesadaran
kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber
masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih
menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial,
politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat
Tahap kesadaran kritis adalah
tahap kesadaran puncak dimana seorang peserta didik memandang segala persoalan
dengan refleksi kritisnya. Kesadaran kritis melibatkan otak dalam prosesnya.
Cara kerja otak manusia lebih cenderung kepada pengulangan. Apabila sebuah kegiatan
diulang terus menerus, maka otak akan lebih mudah memprosesnya. Olehnya itu,
membangun kesadaran kritis haruslah melalui proses yang berlangsung terus
menerus yaitu siklus berpikir, bertindak, berpikir lagi, bertindak lagi dan
seterusnya.
Belajar dari realitas
Unsur yang menjadi objek dalam
pendidikan kesadaran kritis adalah belajar dari realitas, yakni belajar yang
lebih mengedepankan kepada pengalaman-pengalaman belajar, bukan dari hasil
mendengarkan saja. David Kolb, seorang ahli pendidikan Amerika Serikat mengatakan
bahwa ada empat kebutuhan yang harus dimiliki oleh peserta didik yaitu :
1.
Melakukan
pengalaman nyata, terlibat penuh, terbuka dan tidak berprasangka pada
pengelaman barunya
2.
Mencermati
dan merefleksikannya, yaitu merefleksikan dan menyimak pengalaman dengan
berbagai perspektif
3.
Konseptualisasi
abstrak, membentuk konsep yang menyatukan pencermatannya kedalam teori
logis
4.
Bereksperimen
secara aktif, menggunakan teori tersebut untuk membuat keputusan dan
menyelesaikan masalah
Empat kebutuhan ini haruslah di
padukan secara komprehensif untuk menghasilkan pembelajaran bermakna. Kegagalan
belajar yang sering muncul dalam kegiatan ekperimen diakibatkan lemahnya
refleksi setelah melakukan kegiatan itu. Sehingga ekperimen hanya bersifat
ritual yang berlalu tanpa ada kebermaknaan yang di dapat.
Dalam pembelajaran kesadaran
kritis, pendidik dan peserta didik berada pada subjek (pelaku) yang sama
sebagai pembelajar. Artinya, diskusi atau dialog lebih di utamakan dalam setiap
penyelesaian masalah. Pendidik berperan sebagai fasilitator bukan sebagai
sumber informasi. Peserta didik tidak dijadikan objek (sasaran perlakuan) dalam
belajar. Belajar dari realitas atau pengalaman bukan mempelajari “ajaran”
(teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasehat, dan sebagainya) dari
seseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau
sekelompok orang yang terlibat dalam
keadaan nyata tersebut. Akibatnya, tidak ada otoritas pengetahuan
seseorang lebih tinggi dari yang lainnya. Keabsahan pengetahuan seseorang
ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung,
bukan pada retorika teoritik atau
“kepintaran omong” nya.
Kesadaran kritis peserta didik
akan menjadi filter terhadap penjajahan budaya, ekonomi, politik bahkan agama
yang telah hadir nyata di hadapan mereka. Sebagian ide pokok pendidikan
kesadaran kritis sebenarnya telah melekat dalam kurikulum pendidikan kita. Akan
tetapi, gagasan-gagasan yang dogmatis masih dijumpai pada beberapa teori maupun
prakteknya. sehingga tidak jarang pendidik mendapati kebisuan dalam diskusi
kelas.
Jangan sampai generasi kita mejadi generasi yang
terbiasa disuap dengan pengetahuan, terbiasa menjadi pengikut akibat pola
pendidikan yang menjinakkan. Sungguh fatal jadinya, karena di era teknologi
informasi, generasi muda mengintip melalui media dan lingkungan, bagaimana
kekerasan, perselingkuhan, video vulgar bahkan lobi-lobi masuk sekolah adalah
hal biasa. Hukum Pengaruh atau Law of
Effect Thorndike, menjelaskan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh perubahan
yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi
menjadi lebih besar. Tetapi bila hasil yang diperoleh tidak memuaskan maka
kemungkinan tindakan tersebut tidak akan diulangi. Merujuk teori ini, maka
kemungkinan besar mereka akan menduplikasi kejadian-kejadian itu karena
dianggap lebih menyenangkan dan lebih praktis. Mereka menjadi fotocopy dari
generasi sebelumnya, hingga pada saat berkuasa, mereka hanya menggantikan
simbol kekuasaan masa lalu tanpa perkembangan yang berarti.
0 comments:
Post a Comment