Friday 16 December 2016

MELAWAN DEKADENSI MORAL DENGAN PENDIDIKAN KESADARAN KRITIS


Oleh : Angga Passakanawang

Kisah Karin Novilda, seorang remaja putri yang mengumbar foto vulgar di sosial media, memamerkan tattoo, bahkan memposting kata-kata kasar yang tidak pantas, menjadi viral di pertengahan tahun 2016. followersnya yang di dominasi oleh remaja dan anak-anak membuat ia di hujat sebagai perusak moral bangsa. Fakta yang mengejutkan bahwa Karin Novilda adalah peraih nilai ujian nasional (UN) Matematika SMP tertinggi tahun 2013. Kisah ini adalah refleksi bahwa pola pendidikan saat ini belum mampu menjadi tameng dekandensi (kemerosotan) moral. Pengaruh agama, kebudayaan, ekonomi, dan bahkan politik menjadi faktor yang perlu di perhatikan dalam konteks pendidikan. Karena faktor-faktor tersebut mempengaruhi gaya belajar dan pola pikir terhadap tujuan pendidikan bagi peserta didik. Tidak jarang kita mendapati peserta didik yang mempelajari pelajaran hanya sebatas pelajaran wacana untuk menyelesaikan soal ujian, bukan untuk diaplikasikan dalam dunia nyata. Nilai-nilai mata pelajaran tinggi menjadi simbol kecerdasan walaupun tidak sejalan dengan kenyataan. Oleh karena itu, mari kita sepakati bahwa pendidikan yang bermakna adalah pendidikan yang menyentuh “kesadaran”.
Apa itu kesadaran?
Kesadaran merupakan sesuatu yang terletak di akal. Oleh sebab itu, kesadaran hanya dimiliki oleh manusia karena manusialah satu-satunya makhluk yang memiliki akal. Kesadaran adalah kemampuan untuk menyadari, kemampuan untuk mempersepsi sesuatu yang ada. Tiga unsur pendidikan yang berperan strategis dalam membangun kesadaran adalah pendidik, peserta didik dan realitas dunia. Suasana peserta didik yang hanya sibuk bergelut dengan buku teks pelajaran tanpa terlibat pada aktifitas nyata adalah pembelajaran yang akan melahirkan generasi terasing. Produknya adalah anak petani bersekolah tapi tidak memahami pertanian, para wanita berpendidikan tinggi malah tidak bisa memasak ataupun lulusan pendidikan yang menunggu pekerjaan bukan menciptakan lapangan kerja.
Paolo Freire, ahli pendidikan yang pernah menjadi menteri pendidikan Brasil membagi kesadaran menjadi kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naïf (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).
1.       Kesadaran magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan ketidakberdayaan.
2.       Kesadaran naif, keadaan yang dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam menganalisis kenapa masyarakat miskin, karena disebabkan kesalahan merekaa sendiri: yakni malas, tidak memiliki jiwa entrepreneur, bodoh dan lain sebagainya.
3.       Kesadaran kritis, kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari “blaming the victims” dan lebih menganalisis. Untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi budaya dan akibatnya pada keadaan masyarakat
Tahap kesadaran kritis adalah tahap kesadaran puncak dimana seorang peserta didik memandang segala persoalan dengan refleksi kritisnya. Kesadaran kritis melibatkan otak dalam prosesnya. Cara kerja otak manusia lebih cenderung kepada pengulangan. Apabila sebuah kegiatan diulang terus menerus, maka otak akan lebih mudah memprosesnya. Olehnya itu, membangun kesadaran kritis haruslah melalui proses yang berlangsung terus menerus yaitu siklus berpikir, bertindak, berpikir lagi, bertindak lagi dan seterusnya.
Belajar dari realitas
Unsur yang menjadi objek dalam pendidikan kesadaran kritis adalah belajar dari realitas, yakni belajar yang lebih mengedepankan kepada pengalaman-pengalaman belajar, bukan dari hasil mendengarkan saja. David Kolb, seorang ahli pendidikan Amerika Serikat mengatakan bahwa ada empat kebutuhan yang harus dimiliki oleh peserta didik yaitu :
1.       Melakukan pengalaman nyata, terlibat penuh, terbuka dan tidak berprasangka pada pengelaman barunya
2.       Mencermati dan merefleksikannya, yaitu merefleksikan dan menyimak pengalaman dengan berbagai perspektif
3.       Konseptualisasi abstrak, membentuk konsep yang menyatukan pencermatannya kedalam teori logis
4.       Bereksperimen secara aktif, menggunakan teori tersebut untuk membuat keputusan dan menyelesaikan masalah
Empat kebutuhan ini haruslah di padukan secara komprehensif untuk menghasilkan pembelajaran bermakna. Kegagalan belajar yang sering muncul dalam kegiatan ekperimen diakibatkan lemahnya refleksi setelah melakukan kegiatan itu. Sehingga ekperimen hanya bersifat ritual yang berlalu tanpa ada kebermaknaan yang di dapat.
Dalam pembelajaran kesadaran kritis, pendidik dan peserta didik berada pada subjek (pelaku) yang sama sebagai pembelajar. Artinya, diskusi atau dialog lebih di utamakan dalam setiap penyelesaian masalah. Pendidik berperan sebagai fasilitator bukan sebagai sumber informasi. Peserta didik tidak dijadikan objek (sasaran perlakuan) dalam belajar. Belajar dari realitas atau pengalaman bukan mempelajari “ajaran” (teori, pendapat, kesimpulan, wejangan, nasehat, dan sebagainya) dari seseorang, tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau sekelompok orang yang terlibat dalam  keadaan nyata tersebut. Akibatnya, tidak ada otoritas pengetahuan seseorang lebih tinggi dari yang lainnya. Keabsahan pengetahuan seseorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam realitas tindakan atau pengalaman langsung, bukan pada retorika  teoritik atau “kepintaran omong” nya.
Kesadaran kritis peserta didik akan menjadi filter terhadap penjajahan budaya, ekonomi, politik bahkan agama yang telah hadir nyata di hadapan mereka. Sebagian ide pokok pendidikan kesadaran kritis sebenarnya telah melekat dalam kurikulum pendidikan kita. Akan tetapi, gagasan-gagasan yang dogmatis masih dijumpai pada beberapa teori maupun prakteknya. sehingga tidak jarang pendidik mendapati kebisuan dalam diskusi kelas.
Jangan sampai generasi kita mejadi generasi yang terbiasa disuap dengan pengetahuan, terbiasa menjadi pengikut akibat pola pendidikan yang menjinakkan. Sungguh fatal jadinya, karena di era teknologi informasi, generasi muda mengintip melalui media dan lingkungan, bagaimana kekerasan, perselingkuhan, video vulgar bahkan lobi-lobi masuk sekolah adalah hal biasa. Hukum Pengaruh atau  Law of Effect Thorndike, menjelaskan bahwa jika suatu tindakan diikuti oleh perubahan yang memuaskan dalam lingkungan, kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi menjadi lebih besar. Tetapi bila hasil yang diperoleh tidak memuaskan maka kemungkinan tindakan tersebut tidak akan diulangi. Merujuk teori ini, maka kemungkinan besar mereka akan menduplikasi kejadian-kejadian itu karena dianggap lebih menyenangkan dan lebih praktis. Mereka menjadi fotocopy dari generasi sebelumnya, hingga pada saat berkuasa, mereka hanya menggantikan simbol kekuasaan masa lalu tanpa perkembangan yang berarti.

0 comments:

Post a Comment