Edisi Cetak Radar Tarakan, 16 Agustus 2016
Oleh : Angga Passakanawang
Sekolah
sebagai wadah untuk memanusiakan manusia (humanisasi) adalah semboyan lama yang
penulis dengar sejak sekolah dasar. Humanisasi dalam pendidikan berarti
membentuk manusia-manusia merdeka, jauh dari pemaksaan. Pendidik dan peserta
didik adalah subjek (pelaku) dalam belajar sedangkan Ilmu pengetahuan yang
diberikan adalah objek (diperlakukan). Pendidik menfungsikan diri sebagai
fasilitator pembelajaran sehingga pelaksanaan pembelajaran lebih dialogis. Pendidikan
yang memanusiakan manusia bukanlah pendidikan yang mengisi “botol kosong”.
Menganggap peserta didik adalah objek yang harus diperlakukan. Hubungan
pendidik dan peserta didik model “botol kosong“ inilah yang merenggut
kemerdekaan berfikir, sulit untuk keluar dari otoritas ilmu yang ada. Model
pendidikan ini hanya jadi pengikut teori lama bukan penemu teori baru akibat
proses berfikir kritis yang dimatikan.
Harus diakui,
model belajar “botol kosong” masih ditemui dalam pembelajaran sekolah. Pembelajaran
klasikal dalam kelas yang sesak, membuat belajar menjadi rutinitas yang
melelahkan. Peserta didik selalu dianggap siap belajar, padahal mungkin saja
ada diantara mereka yang masuk kelas dengan terpaksa. Bingung dengan tujuannya
bersekolah. Merasa sekolah karena kewajiban usia, karena anak-anak seusianya
juga bersekolah. Tidak ada pertanyaan apa dan mengapa, semuanya mengalir begitu
saja. Mereka datang, mendengar, mengerjakan tugas, mengikuti ujian dan
mendapatkan nilai bagus. Setelah itu kewajiban selesai. Seolah hanya robot-robot
mekanik yang ketika diperintah melakukan dan ketika tidak ada perintah tidak
bergerak. Pada saat pulang sekolah, mereka seperti bebas dari belenggu
kerapian. Mereka berteriak kegirangan, baju sudah tidak dimasukan dalam celana
lagi, dasi di tanggalkan, seolah memasuki dunia baru yang tidak ada hubungannya
dengan dunia sebelumnya. Inilah dampak dari
Kegagalan peserta didik menghubungkan antara pelajaran dan realitas
dunia. Mereka yang stress dengan masalah ekonomi, pergaulan remaja, kondisi
keluarga dan masalah-masalah sosial lainnya, lebih disibukkan dengan
dogma-dogma ilmu pengetahuan. Unsur-unsur dalam sekolah sangat berperan dalam
kegagalan itu. Bahkan menurut Rhenald Kasali, Orang tua juga berperan akibat
pola asuh yang terlalu memanjakan. Akhirnya, terlahirlah generasi yang takut
mengambil keputusan dan hanya menunggu perintah dari atasan.
Tantangan lain
yang membuat sekolah tidak menarik lagi adalah perkembangan pesat industri
hiburan. Kata industri disini perlu digaris bawahi karena industri berarti
penanaman modal besar, produksi yang tinggi dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya.
Bukanlah hiburannya yang mengkhawatirkan, tetapi penjajahan budaya dibalik
hiburan itu. Penggunaan teknologi menjadikan acara-acara hiburan lebih menarik
dan menyenangkan untuk diikuti ketimbang belajar di sekolah. Belum lagi
game-game yang jumlahnya ribuan dan dapat diunduh secara gratis, dikemas dalam
kemasan menarik bahkan memaksa untuk bermain terus-menerus. Tidak salah memang,
Sentuhan teknologi dalam pembelajaran kalah bersaing dengan teknologi hiburan. Pembangunan
gedung baru, perbaikan sekolah atau penambahan jumlah guru ternyata bukanlah
solusi utama dalam dunia pendidikan. kesemuanya itu seperti perbaikan bungkusan
yang tidak memberikan perubahan berarti terhadap isi. Pendidik seperti pisau
tumpul yang diasah sekali-kali saja.
Pembelajaran
PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) yang di
perkenalkan sejak beberapa tahun yang lalu hanya tinggal omong besar di
seminar, pelatihan guru, workshop,
dan diskusi. Tidak betul-betul mengakar sampai akar paling dasar akibat pola
penyampaian setengah-setengah yang melahirkan pemahaman setengah-setengah juga.
Workshop misalnya yang seharusnya
dilaksanakan tiga hari kadang dipadatkan menjadi dua hari. Materi dalam
pelatihan-pelatihan pun cenderung pada penyelesaian administrasi, seperti
membuat silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, instrument penilaian, model
pembelajaran, dan segala bentuk materi non-filosofis. Tidak ada penekanan
filosofis tentang tugas-tugas guru dan pendidikan. Bahkan pada sebuah pelatihan
yang penulis ikuti tahun 2014, penyampaian-penyampaian materinya sangat
dogmatis sehingga peserta tidak memahami akar masalah sebelum melakukan
kegiatan.
Pendidikan kita masih berjuang dari
keterpurukannya. Pendidik sedang berada dalam “perang suci” melawan industri
hiburan yang menjajah kebudayaan. Memang tidak semua peserta didik mengalami
masalah di sekolah. Ada juga peserta didik yang betul-betul antusias dengan
tujuan-tujuan yang jelas, tetapi jumlahnya sedikit. Dalam satu kelas hanya
sekitar 2 atau 3 orang. Setidaknya masih ada harapan. Jumlah kecil inilah yang
masih menyisakan semangat para pendidik dalam tugasnya. Sisa semangat ini Hendaknya
dimanfaatkan untuk terus belajar. Menjadi pendidik bukanlah berarti harus
berhenti belajar. Optimisme harus selalu dijaga sebagai bahan bakar perubahan.
Perubahan bagi pendidik adalah gerakan meng-upgrade
kemampuan. Marilah kita memulai gerakan perubahan dengan membaca, menulis,
bertindak dan berfikir.
0 comments:
Post a Comment