Thursday, 15 December 2016

PENDIDIKAN KITA MASIH BERJUANG

Edisi Cetak Radar Tarakan, 16 Agustus 2016

Oleh : Angga Passakanawang


Sekolah sebagai wadah untuk memanusiakan manusia (humanisasi) adalah semboyan lama yang penulis dengar sejak sekolah dasar. Humanisasi dalam pendidikan berarti membentuk manusia-manusia merdeka, jauh dari pemaksaan. Pendidik dan peserta didik adalah subjek (pelaku) dalam belajar sedangkan Ilmu pengetahuan yang diberikan adalah objek (diperlakukan). Pendidik menfungsikan diri sebagai fasilitator pembelajaran sehingga pelaksanaan pembelajaran lebih dialogis. Pendidikan yang memanusiakan manusia bukanlah pendidikan yang mengisi “botol kosong”. Menganggap peserta didik adalah objek yang harus diperlakukan. Hubungan pendidik dan peserta didik model “botol kosong“ inilah yang merenggut kemerdekaan berfikir, sulit untuk keluar dari otoritas ilmu yang ada. Model pendidikan ini hanya jadi pengikut teori lama bukan penemu teori baru akibat proses berfikir kritis yang dimatikan.
Harus diakui, model belajar “botol kosong” masih ditemui dalam pembelajaran sekolah. Pembelajaran klasikal dalam kelas yang sesak, membuat belajar menjadi rutinitas yang melelahkan. Peserta didik selalu dianggap siap belajar, padahal mungkin saja ada diantara mereka yang masuk kelas dengan terpaksa. Bingung dengan tujuannya bersekolah. Merasa sekolah karena kewajiban usia, karena anak-anak seusianya juga bersekolah. Tidak ada pertanyaan apa dan mengapa, semuanya mengalir begitu saja. Mereka datang, mendengar, mengerjakan tugas, mengikuti ujian dan mendapatkan nilai bagus. Setelah itu kewajiban selesai. Seolah hanya robot-robot mekanik yang ketika diperintah melakukan dan ketika tidak ada perintah tidak bergerak. Pada saat pulang sekolah, mereka seperti bebas dari belenggu kerapian. Mereka berteriak kegirangan, baju sudah tidak dimasukan dalam celana lagi, dasi di tanggalkan, seolah memasuki dunia baru yang tidak ada hubungannya dengan dunia sebelumnya. Inilah dampak dari  Kegagalan peserta didik menghubungkan antara pelajaran dan realitas dunia. Mereka yang stress dengan masalah ekonomi, pergaulan remaja, kondisi keluarga dan masalah-masalah sosial lainnya, lebih disibukkan dengan dogma-dogma ilmu pengetahuan. Unsur-unsur dalam sekolah sangat berperan dalam kegagalan itu. Bahkan menurut Rhenald Kasali, Orang tua juga berperan akibat pola asuh yang terlalu memanjakan. Akhirnya, terlahirlah generasi yang takut mengambil keputusan dan hanya menunggu perintah dari atasan.
Tantangan lain yang membuat sekolah tidak menarik lagi adalah perkembangan pesat industri hiburan. Kata industri disini perlu digaris bawahi karena industri berarti penanaman modal besar, produksi yang tinggi dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Bukanlah hiburannya yang mengkhawatirkan, tetapi penjajahan budaya dibalik hiburan itu. Penggunaan teknologi menjadikan acara-acara hiburan lebih menarik dan menyenangkan untuk diikuti ketimbang belajar di sekolah. Belum lagi game-game yang jumlahnya ribuan dan dapat diunduh secara gratis, dikemas dalam kemasan menarik bahkan memaksa untuk bermain terus-menerus. Tidak salah memang, Sentuhan teknologi dalam pembelajaran kalah bersaing dengan teknologi hiburan. Pembangunan gedung baru, perbaikan sekolah atau penambahan jumlah guru ternyata bukanlah solusi utama dalam dunia pendidikan. kesemuanya itu seperti perbaikan bungkusan yang tidak memberikan perubahan berarti terhadap isi. Pendidik seperti pisau tumpul yang diasah sekali-kali saja.
Pembelajaran PAKEM (pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan) yang di perkenalkan sejak beberapa tahun yang lalu hanya tinggal omong besar di seminar, pelatihan guru, workshop, dan diskusi. Tidak betul-betul mengakar sampai akar paling dasar akibat pola penyampaian setengah-setengah yang melahirkan pemahaman setengah-setengah juga. Workshop misalnya yang seharusnya dilaksanakan tiga hari kadang dipadatkan menjadi dua hari. Materi dalam pelatihan-pelatihan pun cenderung pada penyelesaian administrasi, seperti membuat silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, instrument penilaian, model pembelajaran, dan segala bentuk materi non-filosofis. Tidak ada penekanan filosofis tentang tugas-tugas guru dan pendidikan. Bahkan pada sebuah pelatihan yang penulis ikuti tahun 2014, penyampaian-penyampaian materinya sangat dogmatis sehingga peserta tidak memahami akar masalah sebelum melakukan kegiatan.
Pendidikan kita masih berjuang dari keterpurukannya. Pendidik sedang berada dalam “perang suci” melawan industri hiburan yang menjajah kebudayaan. Memang tidak semua peserta didik mengalami masalah di sekolah. Ada juga peserta didik yang betul-betul antusias dengan tujuan-tujuan yang jelas, tetapi jumlahnya sedikit. Dalam satu kelas hanya sekitar 2 atau 3 orang. Setidaknya masih ada harapan. Jumlah kecil inilah yang masih menyisakan semangat para pendidik dalam tugasnya. Sisa semangat ini Hendaknya dimanfaatkan untuk terus belajar. Menjadi pendidik bukanlah berarti harus berhenti belajar. Optimisme harus selalu dijaga sebagai bahan bakar perubahan. Perubahan bagi pendidik adalah gerakan meng-upgrade kemampuan. Marilah kita memulai gerakan perubahan dengan membaca, menulis, bertindak dan berfikir.

0 comments:

Post a Comment